Marketing dan Berjejaring di Udara

Bagian marketing (pemasaran) berperan dalam memperkenalkan produk/jasa, umumnya dilakukan garda depan, penghubung internal manajemen perusahaan dengan pihak eksternal, yakni pelanggan. 

Siapa bilang cuma yang turun ke lapangan? Untuk kebutuhan perusahaan berkembang, di dalam tim atau divisi pemasaran, ada banyak peran fungsional lainnya. Bagian desain pengemasan, iklan, termasuk copywriter, desainer grafis, maupun analis, periset, dan bagian strategi lainnya, itu juga bagian pemasaran.

Gak jarang juga nih, kalau mengartikan bagian pemasaran sebatas orang yang turun ke lapangan, agak samar bedain peran penjualan (sales) dengan pemasaran (marketing). Penjualan bertanggung jawab dalam penyediaan dan penyaluran barang/jasa –supply, sedangkan pemasaran bertanggung jawab dalam menjangkau pihak yang/supaya membutuhkan barang/jasa –demand.

Persamaannya? Sama-sama berelasi dengan pihak eksternal; rekan (partner) maupun pelanggan (customer).

 


TERUS ADA APA?

Pandemi bikin semua aktivitas terpaksa berdisrupsi, beradaptasi dengan cepat. 

Dulu, pemasar dan calon pelanggan/rekan usaha janjian ketemu tengah di tempat. Sekarang, janjiannya ketemu daring, bisa sekali banyak lagi dengan model webinar. Dulu, masyarakat masih sering jalan-jalan ke tempat publik. Sekarang gak seprioritas itu lagi. 

Kesempatan pemasar untuk ketemu kenalin produknya ke orang-orang jadi menurun, apakah itu NGO untuk ngajak berdonasi kolektif, fintech atau start-up yang tawarin aplikasi dan keuntungannya, sampai penyedia membership gabungan untuk dapatin voucher-voucher food&beverages lokal.

Tenang, pelanggannya dan rekan potensialnya gak berkurang kok, cuma pindah tempat. Dari luring ke daring. Duar! Kebutuhan tenaga kerja untuk desainer UI/UX, SEO copywriter, dan grafis jadi trending, deh.

 

KOMUNIKATOR

Posisi kerja yang istilah Bahasa Indonesianya belum umum tersebut (UI/UX Designer, SEO Copywriter, Graphic Desainer, dll) menjadi kebutuhan yang dipentingkan tanpa menggantikan peran lama yang sudah ada. 

Dialah Si Komunikator –oke, aku gak tahu sebutan umumnya, ini sebutan versiku saja, ya, untuk orang yang memasarkan produk, menjalin relasi, dan negosiasi kerjasama usaha melalui keterampilan komunikasinya.

Meski perilaku masyarakat ikut beradaptasi dengan kondisi pandemi, komunikasi verbal tetap merupakan natur manusia untuk berinteraksi yang tidak bergeser. Medianya yang mungkin bergeser.

Nah, aku bukan ahli dan bukan seorang profesional nih perihal pemasaran. Teman-teman boleh berbagi tanggapannya, ya, mengenai fenomena ini. Murni untuk berbagi dan belajar, tidak bermaksud menyinggung siapa pun.

 

FENOMENA PENDEKATAN PEMASARAN VIRTUAL

Apakah sebaiknya perubahan media bertemu juga mengubah cara berkomunikasi para pemasar (komunikator)?

Selama pandemi ini, aku dijangkau beberapa komunikator yang ingin mengajak kerjasama usaha sebagai retailer kreatif. Ada yang melalui email, pesan Instagram, ada juga melalui pesan LinkedIn. Semuanya bukan penipuan dan berasal dari pihak perusahaan/perseroan resmi.

Yang melalui email adalah perusahaan arloji dan jam tangan internasional dengan subjek “Sponsored Collaboration by *** Watches”. Domain email terdata, jelas memperkenalkan diri dengan signature perusahaan di badan email, dan nama perusahaan eksis.











Salah satu pendekatan penawaran kerja sama via email yang pernah kuterima

Tidak ada masalah dengan keterbukaan identitas sebagai penjangkau, siap bertanggungjawab atas sebuah inisiasi terhadap orang lain. Sayangnya pada detail kerjasama yang ditawarkan beliau tidak membiayai sebagaimana sponsor yang aku kira, melainkan memberi komisi pada tiap penjualan yang kulakukan nantinya. Setelah email ketidaksetujuan kerja sama yang saya kirim, Si Komunikator tidak merespon lagi.

Yang melalui Instagram juga menjangkau dengan baik; meperkenalkan diri dan memberitahu ketertarikannya menawarkan dan kenal aku darimana, menyampaikan tujuannya menghubungiku… tanpa bersedia memberitahu nama institusinya. Beliau ngajak bertemu daring ala webinar pada ruang virtual dan waktu yang sudah ditetapkan institusi bersama calon partner usaha potensial lainnya, bahkan disertai foto screen capture pertemuan yang lalu. “Kalau boleh tahu dari perusahaan apa, ya?” alih-alih menyebutkan nama perusahaan/institusi, dia bilang akan beritahu semua di webinar itu dan bersikeras mengajak bergabung dalam pertemuan tersebut saja.

Yang melalui LinkedIn, juga memperkenalkan profil pribadinya dengan jelas, tanpa menyebut nama perusahaannya dan menjanjikan akan beritahu di penjelasan pertemuan daring.

 

ETIKA MEMBANGUN JEJARING

Tidak ada standar metode atau alur pemasaran yang disepakati, namun etika berkomunikasi dan menjalin relasi dalam pemasaran luring sebelum pandemi dulu sepertinya tidak jauh berbeda dengan pemasaran virtual: menghubungi kontak, perkenalkan diri dan institusi penyelenggara, tujuan menghubungi. Lalu jika tertarik membicarakan lebih lanjut, ngajak ketemuan secara langsung. Jika tidak tertarik, mengucapkan terima kasih sebagai cara manifestasi relasi masa depan (dan tentu saja sopan santun yang menjaga citra perusahaan).

Lantas dalam kasus di atas, kenapa informasi sesederhana nama perusahaan juga masuk dalam agenda pertemuan ya, bukannya saat memperkenalkan diri sebagai pengakuan merepresentasikan perusahaannya untuk bertemu?

Seketika aku menyadari sensitifnya informasi di media sosial. 

Aku sensitif karena sebagai pihak eksternal yang diajak, perlu tahu siapa yang akan ditemui dan institusi apa yang ingin bekerja sama denganku ini. Selain karena tidak ada jaminan keamanan pertemuan virtual, keingintahuanku sebagai calon partner menandakan keseriusanku menanggapi tawaran; ingin jelajah, ingin kenal. 

Dengan mengetahui institusi dan visinya pun, calon partner/pelanggan bisa memutuskan keputusan awal apakah tertarik, ingin berdiskusi lebih jauh, atau tidak ingin bekerja sama. Jadi waktu atau pembicaraan yang dimanfaatkan bisa lebih efektif.

Aku juga merasa informasi dirasa sensitif oleh komunikator. Ada kesan “merasa diragukan” yang diterima oleh Si Komunikator ketika menyebutkan intensi keingintahuan dan menanyakan nama institusi mereka.

Tentu aku mengakui, bisa jadi bahasaku merespon yang dirasa ofensif bagi beberapa orang. Mungkin. Yang aku sayangkan, sebagaimana merasa diragukannya pun, sebagai komunikator jaman offline, aku justru merasa senang saat lawan bicara jujur mengomunikasikan apa yang diantisipasinya, apa yang dimaunya, dan apa yang dipertanyakannya karena komunikator adalah yang bersedia berkomunikasi dan menjalin relasi jangka panjang.

Bagaimanapun, degradasi fungsi komunikasi pada komunikator pemasaran tidak bisa disimpulkan dari tiga pengalaman pribadi tersebut. Semoga.   

 

 

Nah, bagaimana menurutmu, bersedia memperkenalkan diri dengan lengkap tidak?




Post a Comment

0 Comments