Sepandai-pandainya Tupai Melompat,

Tupai, Si Pandai Melompat kata orang-orang. Dia tidak pernah mau jatuh karena dia takut apa orang-orang akan memandangnya berbeda kalau saja ia jatuh.

Maka tupai terus melompat dengan pandai, lebih pandai lagi, lebih pandai lagi, jangan sampai jatuh.

Suatu kala, saat ia hendak menggigit buah kelapa di dahannya, ia termenung apakah tupai Si Pandai Melompat itu tupai yang semestinya. Ataukah itu cuma tupai yang orang mau begitu. Ia terus begitu karena ia ingin orang terus memujanya sebagai tokoh animalia mungil nan berbulu yang lincah dari pohon satu ke pohon lain.

Bahkan suatu pikir ia pun merasa dibayang-bayangi pantauan setiap mata, dinanti-nantikan kapanlah jatuhnya tupai yang pandai melompat saking tak terkalahkannya dia di mata yang lain. Tupai pun semakin dibayang mimpi buruk kejatuhannya. Tidak! Aku tak boleh lengah. Ayah ibuku sudah mewariskan gelar kehormatan pengerat yang pandai melompat. Tidak ada yang bisa merebut itu! Batin Si Tupai.

Kini tupai sangat pandai melompat. Ia jadi teladan kegigihan dan ketangkasan di ranah fauna, di fabel manusia. Tapi kalau ditanya, tupai sungguh lelah menjalani hidup sebagai dirinya ini. Bagaimanalah, jika saja ada pilihan lain dia juga tidak mau memilih jalan yang begini –menjadi gemilang karena takut diabaikan, karena takut dibedakan, karena takut dihakimi, karena takut tidak bertanggung jawab pada kejayaan yang diwariskan, takut mengecewakan hewan yang sayang dia, takut mengecewakan manusia yang memujanya, takut membuat sedih pada setiap mata yang menaruh harap padanya, takut kepada setiap mata skeptis yang menantikan kejatuhannya, yang selalu siap sedia mencerca orang-orang yang sayang dia. Sesuatu yang dapat menggerogoti perlahan jiwa makhluk hidup itu dimula oleh secuil ketakutan. Ketakutan yang kemudian beranak-pinak melahirkan ketakutan-ketakutan lain, hingga menguasai seluruh tubuhnya, merenggut kebahagiaannya.

Dia pernah bahagia saat yang ditakutinya ini belum pernah dia alami, dia adalah tupai yang berhasil kok. Ia menikmati setiap buah dari ambisi yang ia punya untuk terus menjadi tupai yang pandai melompat. Dia pernah jadi tupai yang lupa takut kok saking menikmati apa yang dikerjakan, diperjuangkan, dan yang dicapai. Ini adalah kemenangan tanpa ujung. Semakin tercapai, semakin semangat, tercapai lagi, semangat lagi.

Tahukah kalian, itu sangat menguras hidup. Seolah nafas adalah baterai hidup, ambisi yang didasari oleh rasa takut adalah aktivitas yang boros baterai. Meski di puncak kejayaan dan tubuhnya bugar, sorot matanya melayu, jiwanya merenta. Lelah. Ini semua untuk apa. Masa, kan, aku hidup dan mati untuk yang orang mau, untuk jadi boneka, untuk menjadi mati bagi mereka yang punya hidup -mereka yang luntang-lantang bisa jadi apa saja, yang boleh gagal, yang merdeka dari tuntutan lalu mengoper dan mengikatkan itu semua kepadaku si tupai bungsu. Hanya karena dalih aku adalah tupai paling beruntung yang dapat memperoleh kemenangan dari kekalahan kakak abangnya. Aku tahu leluhurku memperjuangkan gelar ini untuk kebaikan kehidupan kami, keturunan-keturunannya. Tapi bolehkan leluhurku tahu bahwa ini tidak untuk kebaikan hidupku melainkan kebaikan kehidupan mereka saja?

Seharusnya setiap tupai menghidupi nilai hidup masing-masing demi menciptakan kehidupan yang lebih baik pada sesama tupai maupun makhluk lain, berdasarkan setiap peran yang dipilih masing-masing, cita-cita masing-masing,  dan pemahaman masing-masing. Ambisi yang memberkati sekitar, yang tidak menghilangkan sejatinya diri, yang mengapresiasi perspektif unik, dan menghargai pilihan peran. Ambisi yang bukan menggerogoti, melainkan ambisi yang menambah nyawa dan kekekalan melampaui nafas.

Identitas bukan tuntutan paksa, identitas adalah kekuatan. Identitas bukan kutukan merata, identitas adalah anugerah. Karena setiap kita adalah ciptaan berharga, bentuk luhur kemuliaan Sang Pencipta.

Rupanya sedari tadi air mata sudah jatuh dari mata si tupai. Air mata memang tanda lemah. Air mata adalah pengakuan akan kelemahan. Disebut apalagi itu kalau bukan sebuah keberanian. Kekuatan.

Kelemahan dan pengakuannya justru adalah undangan penguatan dan penghiburan dari tupai lain. Kelemahan dan kekhawatiran yang diakui justru adalah undangan mendengarkan cita-cita diri, cita-cita Sang Pencipta terhadap diri. Kelemahan adalah lahan subur tumbuhnya kekuatan yang baru, yang jauh lebih kuat dari sebelumnya, yang utuh. Momen pencarian dan perjalanan penemuan makna.

Aku hidup oleh ketakutan akan jatuh, maka aku memutuskan mati oleh ketakutan akan jatuh, kata tupai. Hidup yang dipenuhi ketakutan itu sia-sia, hidup yang tak layak untuk dihidupi. Harus diakhiri,

Aku

Harus

Jatuh.

Aku harus jatuh sehingga rekor gelar Si Pandai Melompat runtuh, sehingga aku dan tupai lain merdeka dari kebutuhan pengakuan dan merdeka dari identitas yang menuntut. Silakan bagi yang menanti-nanti kejatuhanku, tertawalah sekeras-kerasnya. Silakan yang menaruh harap, menangislah sedalam-dalamnya, maaf. Karena kekalahan keterikatanku adalah kemenangan kemerdekaanku. Kematian ketakutanku adalah kehidupan keberanianku. Tak perlu menanti kematian badan untuk menghidupi kehidupan yang baru. Hidupku berharga, aku hanya perlu mematikan yang lama dan memulai baru sejak sekarang. Hidup baru, aku datang!


akhirnya jatuh juga.


Foto oleh Maddie Franz dari Pexels


Post a Comment

0 Comments